Jumat, 19 Juli 2013

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN IMPOR BERAS DI INDONESIA

           Tugas Kelompok Softskill



Makalah Tugas Teori Organisasi Umum 2 

EFEKTIVITAS KEBIJAKAN IMPOR BERAS DI INDONESIA





Disusun Oleh :
           

bong yudha citrawang        (11111527)

Luna  khotimah                 (14111155)

meylia putri                       (14111448)

Neng Julia andriani putri   (15111130)

Suci Rahmawati                 (16111915)

Yolanda tifany                   (17111563)                                               
Kelas : 2KA10






UNIVERSITAS GUNADARMA
2012-2013


KATA PENGANTAR

   Puji dan Syukur kepada Allah SWT, atas Rahmat dan Hidayah-Nya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini guna memenuhi tugas teori organisasi umum yang diberikan Dosen pengajar mata kuliah teori organisasi umum(softskill), JurusanSistem Informasi Fakultas ILKOM & TI Universitas Gunadarma - Depok.
   Makalah ini masih belum sempurna disebabkan karena terbatasnya kemampuan pengetahuan baik teori maupun praktek. Dengan demikian, kami sangat mengaharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca guna memperbaiki dan menyempurnakan panulisan makalah ini.
          Kiranya yang Maha Kuasa tetap menyertai kita sekalian, dengan harapan pula agar makalah ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.


                                                                                                                                                                                                                                              Depok,  6 Mei 2013

                                                


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………..…2        
DAFTAR ISI………………...…………..…....3    
BAB I. Pendahuluan…………………………….…4
1.1  Latar Belakang………………………………….......4
1.2 Rumusan Masalah……………………………………..……5
BAB IIPembahasan………………………………….6
       2.1 Materi Pembahasan………………………………….….….6
BAB III Penutup…..………………………………………….……….14
       3.1 Kesimpulan……………...……………….….…..14 
Daftar Pustaka……..…………………………………………..…..….15




BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Beras merupakan komoditi yang sangat utama karena dikonsumsi oleh sebagian besar penduduk Indonesia. Selain sebagai sumber karbohidrat, dua pertiga kebutuhan kalori diperoleh dari beras. Akibatnya, wajar jika beras merupakan komponen yang terpenting dari “indeks harga bahan pangan dan biaya hidup”. Disisi lain, beras juga merupakan sumber lapangan kerja yang terbesar di bidang pertanian, merupakan massive industry yang melibatkan banyak orang (Hatta Sunanta, 2006).
Produksi padi Indonesia mengambil pangsa sekitar 9% dari total produksi dunia. Indonesia negara penghasil beras ke tiga terbesar di dunia, setelah China (30%) dan India (21%). Namun, kedua negara terakhir adalah net eksportir beras, berbeda dengan Indonesia yang mejadi negara net importir beras sejak akhir 1980-an. Kemudian pada tahun 1984 pemerintah Indonesia (Orde Baru) menyatakan diri bahwa Indonesia mencapai tingkatan swasembada beras, yang telah dirintis melalui berbagai program (swasembada, Inmas, Bimas, Insus, Supra Insus).
Menurut data Food Agriculture Organization of the UN (FAO), menunjukkan perkiraan jumlah penduduk dunia pada tahun 2030 mencapai 8 miliar. Pada tahun 2015, sebanyak 580 juta penduduk dunia akan mengalami kekurangan pangan. Perhitungan ini menunjukkan bahwa negara-negara berkembang di dunia akan semakin tergantung pada impor pangan untuk memenuhi kebutuhan penduduknya yang sangat besar, dan diperkirakan kebutuhan tersebut akan meningkat dari 170 juta ton pada tahun 1995 menjadi 270 ton pada tahun 2030 (Bayu Krisnamurthi, 2006).
Negara Indonesia sebagai negara agraris, maka konsekuensi logisnya kebutuhan akan pangan terutama beras dapat terpenuhi. Namun yang terjadi saat ini justru ironi untuk memenuhi kebutuhan pangan (beras, jagung, kedele, buah-buahan) masih harus impor. Jumlah penduduk Indonesia mengalami peningkatan terus sehingga kebutuhan pangan pun bertambah. Disisi lain, lahan pertanian semakin terbatas akibat alih fungsi lahan maka dalam upaya memenuhi kebutuhan pangan dari produksi terbatas sehingga salah satu cara yang ditempuh pemerintah untuk menjaga ketahanan pangan adalah dengan impor.
Melihat fenomena di atas, tulisan ini mencoba memaparkan sejauhmana keefektifan kebijakan impor beras yang dilakukan pemerintah?

1.2 RumusanMasalah
a.   Seberapa besar kemampuan indonesia memproduksi dan konsumsi beras ?
b.  Apakah indonesia mempunyai kualitas ketahanan pangan ataukah malah kerawanan pangan    yang ada ?
c.  Seberapa besarkah ketergantungn indonesia terhadap impor baras ?
d.  Bagaimanakah kebijakan impor beras di indonesia ?






















BAB 2
Pembahasan

2.1 Materi Pembahasan

a. Produksi dan Konsumsi Beras
Indonesia terus berusaha mendorong peningkatan produksi beras dalam negeri dan mengelola stok beras nasional untuk tujuan emerjensi dan stabilisasi harga. Produksi beras/padi dalam negeri amat penting untuk menghindari tingginya risiko ketidakstabilan harga dan suplai beras dari pasar dunia, disamping terkait erat dengan usaha pengentasan kemiskinan dan pembangunan perdesaan.
Pulau Jawa menjadi penghasil 56% komoditas padi, untuk seluruh penduduk Indonesia. Ketergantungan pada pulau Jawa dan dominasi wilayah padat penduduk dalam produksi pangan dapat menimbulkan masalah tersendiri (Bayu Krisnamurthi, 2006).
Data BPS menunjukkan, tingkat konsumsi beras masyarakat Indonesia dapat dikatakan tidak berubah banyak dari tahun ke tahun. Data tahun 1996-2001 memperlihatkan rata-rata masyarakat Indonesia mengkonsumsi beras 131,5 kg/tahun dengan perubahan rata-rata hanya sebesar –0.14%/tahun. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa beras tetap menjadi kebutuhan pokok yang bersifat hampir inelastis sempurna. Namun, bila dilihat secara pengeluaran rumah tangga, dengan peningkatan laju pertumbuhan ekonomi yang relatif selalu meningkat kecuali pada saat krisis moneter 1997-1998, data Susenas menunjukkan hal yang berbeda. Karena jumlah penduduk Indonesia terus meningkat setiap tahunnya maka konsumsi beras masyarakat secara agregat tentunya akan mengalami peningkatan pula, sementara produksi dari tahun ke tahun relatif tidak berubah dan lahan semakin terbatas akan mengganggu ketahanan pangan.

b. Ketahanan Pangan versus Kerawanan Pangan
Ketahanan pangan, secara luas dapat diartikan sebagai kemampuan untuk memenuhi kecukupan pangan masyarakat dari waktu ke waktu. Kecukupan pangan dalam hal ini mencakup segi kuantitas dan kualitas, baik dari produksi sendiri maupun membeli di pasar. Terwujudnya sistem ketahanan pangan tersebut akan tercermin antara lain dari ketersediaan pangan yang cukup dan terjangkau oleh daya beli masyarakat serta terwujudnya diversifikasi pangan, baik dari sisi produksi maupun konsumsi. Pencapaian ketersediaan pangan harus memperhatikan aspek produksi, pengaturan dan pengelolaan stok atau cadangan pangan, serta penyediaan dan pengadaan pangan yang cukup. Ketahanan pangan harus menjaga mutu dan gizi yang baik untuk dikonsumsi oleh masyarakat. Mutu dan gizi yang baik dihasilkan dari pangan yang beragam, bergizi, bermutu dan halal untuk dikonsumsi. Mutu pangan yang dikonsumsi akan mempengaruhi kualitas sumberdaya manusia Indonesia.
Kenyataan yang pernah terjadi saat krisis yang lalu bahwa adanya rawan pangan didukung oleh kondisi alam yang tidak menguntungkan produksi bahan pangan dan diperparah lagi dengan adanya kepanikan konsumen akibat isu kekurangan pangan sehingga memicu kenaikan harga bahan pokok. Keadaan tersebut menunjukkan pula bahwa ketergantungan bahan pangan hanya pada satu jenis bahan pangan saja terutama beras, ternyata mengarah pada kelemahan dari sistem ketahan pangan (Darwanto, 2000).
Untuk memperkuat ketahanan pangan maka perlu digalakkan kembali lumbung desa. Lumbung desa berfungsi sebagi tempat penyimpanan pada saat produksi berlebihan (panen raya) dan sebagai penyalur saat paceklik. Keberadaan lumbung desa akan melepaskan ketergantungan petani terhadap pemerintah (Dolog/Bulog). Selain itu peningkatan sarana transportasi seperti jalan penghubung pedesaan diperlukan untuk memudahkan penyaluran serta pengembangan pedesaan. Keduanya sangat penting peranannya dalam mengatasi kerawanan pangan sehingga daerah-daerah yang masih kekurangan dapat terdistribusi dari daerah yang mengalami surplus pangan.
Harga yang rendah merupakan disinsentif bagi petani untuk meningkatkan produksi, sehingga ketersediaan pangan akan menjadi terganggu. Dalam jangka panjang kebijakan pengendalian harga pangan hanya akan membuat negeri ini tergantung pada impor pangan. Dilema yang dihadapi pemerintah saat ini adalah; disatu sisi pemerintah ingin mengendalikan inflasi menjadi single digit, salah satunya dengan menekan harga kebutuhan pokok, terutama pangan. Dilain pihak, pemerintah ingin merevitalisasi pertanian dan meningkatkan taraf hidup petani. Mahalnya harga beras yang terjadi akhir-akhir ini telah melemahkan daya beli masyarakat, bahkan pada kelompok masyarakat tertentu tidak mampu membeli beras, sehingga mengkonsumsi nasi aking atau umbi-umbian. Berikut disajikan perkembangan harga beras medium di Indonesia (Tabel 1).

Tabel 1. Perkembangan Harga Beras Medium di Indonesia Tahun 1995–2003 (Rp/kg)

Tahun
Triwulan I
Triwulan II
Triwulan III
Triwulan IV
1995
740,09
732,58
782,62
850,23
1996
858,12
852,11
897,00
912,78
1997
983,78
1023,90
1.065,81
1.181,73
1998
1401,20
1.714,10
2.580,30
2.700,51
1999
2776,27
2.771,61
2.634,81
2.479,62
2000
2451,57
2.468,57
2.426,88
2.349,85
2001
2441,63
2.478,55
2.549,70
2.679,83
2002
2971,39
2.835,19
2.701,49
2.753,81
2003
2856,51
2.770,00
2.717,00
2.767,00

Sumber: Badan Urusan Logistik (Bulog), 2003
Perkembangan harga beras sebagaimana yang ditunjukkan pada Tabel 1, kenaikan harga beras yang terjadi sampai tahun 2003 tidak begitu tajam. Berbeda halnya dengan kondisi yang terjadi akhir-akhir harga beras di pasaran mencapai Rp 4600/kg (Januari 2006) terjadi kenaikan harga yang cukup drastis. Mahalnya harga beras tersebut disebabkan oleh beberapa hal;
1. Banyaknya distributor baru dari luar daerah sehingga akan memperpanjang rantai pemasaran sehingga margin pemasaran semakin besar
2. Adanya permainan pasar yang dilakukan para tengkulak dan pengusaha bermodal besar, seperti pedagang borong beras murah operasi pasar, agar pemerintah memberlakukan impor beras untuk menutup krisis di pasaran. Ini berarti petani tidak punya ketahanan pangan karena tidak punya stok
3. Proses pengeringan yang berlangsung lebih lama di musim hujan sehingga pasokan beras ke distributor terhambat
Beberapa langkah strategis yang dapat ditempuh untuk mengatasi distribusi yang tidak lancar seperti ada penimbunan beras oleh pihak tertentu antara lain: (1). Jangka pendek, yakni dengan mempercepat distribusi raskin agar cepat diterima kepada yang berhak termasuk diterima oleh para penerima subsidi langsung tunai (SLT); (2). Jangka panjang, data surplus beras, harus melalui kajian mendalam dengan memperhitungkan faktor puso yang disebabkan faktor alam seperti banjir, serangan hama penyakit sehingga menyebabkan kegagalan panen. Misalnya pada MT Oktober–Maret, sebenarnya tingkat kegagalan panennya tinggi yang diakibatkan faktor alam, sehingga indikasi panen pada bulan Januari-Februari masih banyak defisitnya antara kebutuhan dengan hasil panen yang dicapai. Namun biasanya defisit tersebut dapat ditutup dengan surplus tahun sebelumnya. (3). Melakukan operasi justisi dengan menelusuri tempat-tempat yang diduga sebagai gudang penimbunan. Operasi ini dimaksudkan sebagai shock teraphy agar pihak yang menimbun mengeluarkan stoknya. Pihak yang melakukan penimbunan untuk memperkaya diri sendiri, perlu diberi punishment sesuai dengan peraturan, mengingat beras merupakan komoditas primer yang menyangkut hajat hidup orang banyak. (4) Menghilangkan seluruh hambatan yang mengganggu mekanisme pasar, melalui layanan publik, memberikan subsidi dan regulasi.
Secara teoritis memang benar bahwa jika harga terlalu tinggi atau berada diatas harga keseimbangan maka pemerintah harus intervensi dalam rangka melindungi konsumen dengan apa yang dinamakan ceiling price, maka operasi pasar sangat diperlukan sebagai upaya untuk menstabilkan harga beras. Operasi pasar yang dilakukan oleh Bulog melalui stock beras yang menggantungkan/didatangkan dari luar negeri (impor) yang cenderung berkelanjutan dan dalam jumlah yang cenderung meningkat justru akan membahayakan ketahanan pangan. Selama persediaan stock beras masih mencukupi, operasi pasar tidak diperlukan untuk sementara waktu.

c. Ketergantungan Impor Beras
Pemenuhan kebutuhan pangan sampai sekarang dipenuhi dengan impor dari luar negeri sehingga ketergantungan pada negara pengimpor semakin besar. Ketergantungan pangan (beras) melalui impor akan merupakan malapetaka bagi bangsa dan negara, disamping menguras devisa, memungkinkan dan memudahkan komoditas pangan dijadikan komoditas dan senjata politik untuk pengaturan hingga terjadinya dominasi dunia (Bayu Krisnamurthi, 2006).





Tabel 2. Produksi, Impor/Ekspor Beras (1000 Ton), dan Tingkat Swasembada dan Ketergantungan impor: Rataan 4 periode 1995-2005

Rataan/ Tahun
Produksi 2)
Impor 1)
Ekspor 1)
Tingkat Swasembada (%)
Tingkat Ketergantungan Impor (%)
1995-1997
32.252
1.920,1
3,5
94,6
5,4
1998-1999
31.633
3.844,9
4,2
89,3
10,7
2000-2003
32.356
1.310,0
2,9
96,1
3,9
2004-2005
34.174
205,5
21,6
99,5
0,5

Keterangan:
Ekspor/impor dihitung dari data Neraca Bahan Makanan BPS (berbagai tahun) dan makalah BPS di Rakornas Inpres di Yogya tgl 1-2 Mei 2006. 2) Statistik Indonesia BPS
Pada periode 1998-1999, terjadi penurunan produksi padi (El Nino) yang bersamaan dengan krisis ekonomi, sehingga impor beras tertinggi yaitu mencapai 3,8 juta ton/tahun, dengan tingkat ketergantungan impor hampir 11%. Namun, impor beras menurun drastis pada periode 2004-2005, karena Indonesia melarang impor beras, kecuali beberapa jenis beras untuk penggunaan tertentu Pada periode ini, impor hanya 206 ribu ton/tahun, dengan tingkat swasembada mencapai 99,5%. Dalam periode ini, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia juga mengekspor beras sebesar 22 ribu ton/tahun.

d. Kebijakan Impor Beras
Dalam kebijakan impor beras ada tiga hal yang harus diperhatikan, yaitu : (1) impor beras jangan sampai merugikan petani dalam negeri, (2) ditujukan untuk membantu konsumen mendapat harga yang terjangkau, dan (3) menjamin stok pangan nasional.
Bagi Indonesia, dengan semakin membanjirnya beras impor akan mengakibatkan petani semakin tidak memiliki daya saing baik dari sisi harga maupun mutu sehingga berakibat pada melemahnya daya beli masyarakat terutama dari pihak petani Dengan melemahnya daya beli pada akhirnya kesejahteraan petanipun semakin tidak membaik.
Alasan yang dikemukakan pemerintah pusat untuk kembali melakukan impor beras ini adalah sebagai upaya antisipasi menahan laju peningkatan harga beras, yang dikhawatirkan dapat menimbulkan tekanan biaya input (cost push) terhadap tingkat inflasi nasional yang sedang ditargetkan berada pada tingkat moderat, dan tidak terlalu menghambat tujuan kebijakan fiskal dan moneter saat ini.
Upaya menggenjot produksi beras dari domestik sangat tidak dimungkinkan karena membutuhkan waktu yang tidak pendek dan dikhawatirkan akan merugikan petani lebih buruk lagi. Alasannya, produksi beras di daerah-daerah sentra beras Indonesia sekarang ini sebenarnya lebih bersifat technology based dan relatif mengarah pada sektor produksi padat modal dan/atau lahan. Hal itu ditunjukkan lewat pengadaan bibit unggul dan pupuk dibandingkan sebagai sektor perekonomian bersifat padat karya.
Dengan demikian, petani yang juga merupakan konsumen beras akan tetap harus menerima risiko harga beras yang lebih mahal karena tingginya biaya input produksi. Tambunan (2006) memperkuat pernyataan ini dengan menunjukkan data terakhir BPS, pada era pasca kenaikan harga BBM Oktober 2005, angka nilai tukar petani (NTP) merosot 2,39%. Pada Desember 2005, NTP tercatat 97,94. Artinya, indeks harga yang harus dikeluarkan petani lebih besar daripada indeks harga yang diterima. Dalam kata lain, angka ini menandakan bahwa petani merugi atau pendapatannya turun.
Untuk menghambat membanjirnya beras impor, pada tahun 2000 pemerintah kemudian mengenakan tariff impor menjadi 30%, namun upaya pemerintah tersebut ternyata tidak cukup efektif. Hal tersebut ditambah dengan lemahnya pengawasan serta bentuk negara kepulauan, menyebabkan sulitnya mengawasi beras impor yang masuk secara illegal (Antik, 2002). Peranan pemerintah dalam hal ini Badan Urusan Logistik (Bulog) sebagai distributor tunggal beras nasional semakin diperkecil dan penjualan beras saat ini lebih mengikuti mekanisme pasar. Mengingat beras merupakan pangan pokok sebagian besar masyarakat, sudah semestinya pemerintah lebih meningkatkan intervensinya dalam produksi, distribusi dan harga. Dalam hal harga, pemerintah harus berani membeli beras petani dengan harga yang lebih tinggi dari harga pasar dan kemudian menjualnya dengan harga di bawah harga pasar. Hal ini untuk memberikan insentif pada petani beras agar bergairah berproduksi dan sekaligus dengan harga jual lebih rendah dari harga pasar akan melindungi konsumen. Langkah ini sekaligus akan menyelamatkan petani dari permainan harga yng selama ini dilakukan oleh para tengkulak. Langkah ini jauh lebih efektif daripada pemerintah memberi subsidi kepada petani dalam berproduksi.
Kebijakan impor beras yang dilakukan pemerintah, untuk mengatasi kelangkaan beras di pasaran, mendapat respon yang kurang positif. Kebijakan impor beras menjadi komoditi politis bahkan lebih pelik dibanding BBM. Ketergantungan akan impor perlu segera dikendalikan salah satunya dengan meningkatkan produksi pangan termasuk beras agar kemandirian pangan dapat diwujudkan. Langkah ini perlu dilaksanakan, kalau kita ingin menjadi bangsa yang mandiri, sehingga kebijakan dasar pemerintah tentang pangan khususnya dan pertanian umumnya harus diperhatikan. Akan sangat ironis, suatu negara agraris dengan kekayaan sumberdaya alam yang melimpah, ternyata tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan rakyatnya secara mandiri bahkan terus bergantung pada impor. Efisien produksi dan tata niaga perlu dilakukan sebagai salah satu upaya dalam berproduksi dengan tetap menjaga keterjangkauan harga serta menguntungkan petani
Menurut Iman Sugema (2006), ada empat hal yang dapat dilakukan pemerintah :
1. Pembangunan infrastruktur fisik petanian dan pedesaan harus ditingkatkan. Infrastruktur irigasi, jalan desa, dan kecamatan selama ini mengalami kemerosotan tajam. Akibatnya disparitas harga ditingkat petani dan konsumen mencapai Rp. 1500 sampai Rp 1700/kg beras. Membaiknya infrastruktur akan mengurangi biaya produksi.
2. Adopsi bibit unggul yang baru sehingga produktivitas dapat ditingkatkan. Ada dua masalah disini. Pertama, dana riset terutama dalam pemuliaan tanaman masih terbatas; kedua, adopsi di tingkat petani amat lamban. Dalam hal riset pertanian mungkin sebaiknya kita berkaca pada Thailand yang rajanya memiliki perhatian khusus untuk ini
3. Harus ada reforma agrarian dengan fokus pemanfaatan lahan tidur dan tidak produktif. Sementara banyak petani tidak berlahan, adalah ironis jika pemerintah membiarkan peningkatan proporsi lahan yang menjadi tidak produktif.
4. Perlu dilakukan rekayasa ulang kelembagaan pangan. Dengan desentralisasi, banyak penyuluh pertanian beralih profesi, sebaliknya jabatan di dinas pertanian banyak diisi orang-orang dari luar pertanian. Keadaan ini mempersulit pencapaian target produksi kemandirian pangan dapat diwujudkan.
Dalam kemandirian pangan, ada kebijakan jangka menengah dan panjang yang secara sistematis harus dilakukan pemerintah. Untuk meningkatkan produksi beras, usahatani beras harus menguntungkan, sehingga ada insentif bagi petani untuk berproduksi. Untuk menjaga harga beras tetap terkendali, produksi nasional harus tetap seimbang dengan konsumsi nasional. Terjadinya peningkatan impor hanya akan memicu kenaikan harga beras internasional. Karena itu dalam jangka panjang semakin besar ketergantungan terhadap impor, kian tidak terjamin pasokan beras secara murah. Indonesia adalah net importer besar dalam pasar beras dunia. Intinya, kebijakan impor hanya relevan untuk mengendalikan harga dalam jangka pendek tetapi amat riskan dalam jangka menengah dan panjang (Iman Sugema , 2006).




















BAB 3
Penutup

3.1 KESIMPULAN
1. Kebijakan impor beras tidak efektif karena menurunkan NTP petani yang berakibat pada merosotnya kesejahteraan petani.
2. Kebijakan impor hanya relevan untuk mengendalikan harga dalam jangka pendek dan dalam jangka panjang ketergantungan pangan pada pihak luar negeri, memungkinkan dan memudahkan komoditas pangan dijadikan komoditas dan senjata politik untuk pengaturan hingga terjadinya dominasi.
3. Ketahanan pangan nasional secara berkelanjutan dapat dicapai dengan kemandirian pangan, ini bukan berarti harus swasembada dalam produksi semua pangan melainkan harus mampu mengurangi bahkan tidak tergantung pada pihak lain.
4. Untuk meningkatkan produksi beras, usahatani padi/beras harus menguntungkan, sehingga ada insentif bagi petani untuk berproduksi.
















 Daftar Pustaka

-Antik Suprihanti, 2002. Impor Pangan dan Kebijakan Pertanian. Jurnal Dinamika Sosial Ekonomi. Universitas Gunadarma.
-Badan Urusan Logistik (Bulog), 2003. Perkembangan Harga Beras Medium di Indonesia Tahun 1995 – 2003.
-Bayu Krisnamurhi, 2006. Penganekaragaman Pangan Sebuah Kebutuhan yang Mendesak. Makalah Seminar Nasional Diversifikasi untuk Mendukung Ketahan Pangan 18 Februari 2006 Universitas Muhammadyah Yogyakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar