Sebagaimana diketahui bahwa negara Indonesia sedang dilanda
krisis ekonomi yang berlangsung sejak beberapa tahun yang lalu. Tingginya
tingkat krisis yang dialami negri kita ini diindikasikan dengan laju inflasi
yang cukup tinggi. Sebagai dampak atas inflasi, terjadi penurunan tabungan,
berkurangnya investasi, semakin banyak modal yang dilarikan ke luar negeri,
serta terhambatnya pertumbuhan ekonomi. Kondisi seperti ini tak bisa dibiarkan
untuk terus berlanjut dan memaksa pemerintah untuk menentukan suatu kebijakan
dalam mengatasinya.
Kebijakan moneter dengan menerapkan target inflasi yang
diambil oleh pemerintah mencerminkan arah ke sistem pasar. Artinya, orientasi
pemerintah dalam mengelola perekonomian telah bergeser ke arah makin kecilnya
peran pemerintah. Tujuan pembangunan bukan lagi semata-mata pertumbuhan ekonomi
yang tinggi, tetapi lebih kepada pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Kebijakan moneter pada dasarnya merupakan suatu kebijakan
yang bertujuan untuk mencapai keseimbangan internal (pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, stabilitas harga, pemerataan pembangunan) dan keseimbangan eksternal
(keseimbangan neraca pembayaran) serta tercapainya tujuan ekonomi makro, yakni
menjaga stabilisasi ekonomi yang dapat diukur dengan kesempatan kerja,
kestabilan harga serta neraca pembayaran internasional yang seimbang. Apabila
kestabilan dalam kegiatan perekonomian terganggu, maka kebijakan moneter dapat
dipakai untuk memulihkan (tindakan stabilisasi). Pengaruh kebijakan moneter
pertama kali akan dirasakan oleh sektor perbankan, yang kemudian ditransfer
pada sektor riil.
Kebijakan moneter adalah upaya untuk mencapai tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi secara berkelanjutan dengan tetap
mempertahankan kestabilan harga. Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Sentral
atau Otoritas Moneter berusaha mengatur keseimbangan antara persediaan uang
dengan persediaan barang agar inflasi dapat terkendali, tercapai kesempatan
kerja penuh dan kelancaran dalam pasokan/distribusi barang. Kebijakan moneter
dilakukan antara lain dengan salah satu namun tidak terbatas pada instrumen
sebagai berikut yaitu suku bunga, giro wajib minimum, intervensi dipasar valuta
asing dan sebagai tempat terakhir bagi bank-bank untuk meminjam uang apabila
mengalami kesulitan likuiditas.
« Pengertian Kebijakan Moneter
Kebijakan moneter didefinisikan dengan rencana dan tindakan
otoritas moneter yang terkoordinasi untuk menjaga keseimbangan moneter, dan
kestabilan nilai uang, mendorong kelancaran produksi dan pembangunan, serta
memperluas kesempatan kerja guna meningkatkan taraf hidup rakyat.
Wikipedia memberikan definisi kebijakan moneter dengan
sebuah proses yang dilakukan oleh pemerintah, bank sentral, atau otoritas
moneter dari sebuah negara untuk mengontrol, penawaran uang, ketersediaan uang,
tingkat bunga, dalam rangka mencapai seperangkat tujuan orientasi kepada
pertumbuhan dan stabilitas ekonomi. Dimana biasanya kebijakan moneter dikenal
sebagai pilihan antara kebijakan ekspansi atau kebijakan kontraksi.
Jadi dapat disimpulkan dari pengertian di atas bahwa kebijakan
moneter adalah semua upaya atau tindakan bank sentral untuk mempengaruhi
perkembangan moneter (uang beredar, suku bunga, kredit dan nilai tukar) untuk
mencapai tujuan ekonomi tertentu. Sebagai bagian dari kebijakan ekonomi makro,
maka tujuan kebijakan moneter adalah untuk membantu mencapai sasaran-sasaran
makroekonomi antara lain: pertumbuhan ekonomi, penyediaan lapangan kerja,
stabilitas harga dan keseimbangan neraca pembayaran. Keempat sasaran tersebut
merupakan tujuan/sasaran akhir kebijakan moneter (final target).
Idealnya, semua sasaran akhir kebijakan moneter harus dapat
dicapai secara bersamaan dan berkelanjutan. Namun, pengalaman di banyak negara
termasuk di Indonesia menunjukkan bahwa hal yang dimaksud sulit dicapai, bahkan
ada kecenderungan bersifat kontradiktif. Misalnya kebijakan moneter yang
kontraktif untuk menekan laju inflasi dapat berpengaruh negatif terhadap
pertumbuhan ekonomi dan penciptaan kesempatan kerja.
« Fungsi Kebijakan Moneter
Dari pengertian kebijakan moneter adalah suatu kebijakan
yang diambil oleh pemerintah (Bank Sentral) untuk menambah dan mengurangi
jumlah uang yang beredar.Sejak tahun 1945, kebijakan moneter hanya digunakan
sebagai kebijakan ekonomi untuk mencapai stabilitas ekonomi jangka pendek.
Adapun kebijakan fiscal digunakan dalam pengendalian ekonomi
jangka panjang. Namun pada saat ini kebijakan moneter merupakan kebijakan utama
yang dipergunakan untuk pengendalian ekonomi jangka pendek dan jangka panjang.
Untuk mempengaruhi jumlah uang yang beredar, pemerintah dapat melakukan
kebijakan uang ketat dan kebijakan uang longgar.
- Tight Money Policy, yaotu kebijakan Bank Sentral untuk mengurangi jumlah uang yang beredar dengan cara :
a. Menaikan suku bunga
b. Menjual surat berharga
c. Menaikan cadangan kas
d. Membatasi pemberian kredit
- Easy Money Policy, yaitu kebijakan yang dilakukan oleh Bank Sentral untuk menambah jumlah uang yang beredar dengan cara :
a. Menurunkan tungkat suku bunga
b. Membeli surat-surat berharga
c. Menurunkan cadangan Kas
d. Memberikan kredit longgar.
Macam-macam kebijakan moneter yaitu politik diskonto,
politik pasar terbuka, kebijakan Cadangan Kas, kebijakan Sanering dan kebijakan
Devaluasi Tertra Revolusi.
« Tujuan Kebijakan Moneter
Kebijakan Moneter adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa
moeneter (Bank Indonesia) untuk mempengaruhi jumlah yang beredar dan kredit
yang pada akhirnya akan mempegaruhi kegiatan ekonomi masyarakat. Kebijakan
moneter bertujuan untuk mencapai stablisasi ekonomi yang dapat diukur dengan:
- Kesempatan Kerja
Semakin besar gairah untuk berusaha,
maka akan mengakibatkan peningkatan produksi. Peningkatan produksi ini akan
diikuti dengan kebutuhan tenaga kerja. Hal ini berarti akan terjadinya
peningkatan kesempatan kerja dan kesehjateraan karyawan.
- Kestabilan harga
Apabila kestablian harga tercapai
maka akan menimbulkan kepercyaan di masyarakat. Masyarakat percaya bahwa barang
yang mereka beli sekarang akan sama dengan harga yang akan masa depan.
- Neraca Pembayaran Internasional
Neraca pembayaran internasional yang
seimbang menunjukkan stabilisasi ekonomi di suatu Negara. Agar neraca
pembayaran internasional seimbang, maka pemerintah sering melakukan
kebijakan-kebijakan moneter.
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar kebijakan
moneter dapat mencapai keberhasilan dalam pelaksanaannya. Prasyarat tersebut
meliputi:
1. Indepensi Bank Sentral.
Sebenarnya tak ada Bank Sentral yang
bisa bersifat benar-benar independen tanpa campur tangan dari pemerintah. Namun
demikian, ada instrumen kebijakan yang tidak dipengaruhi oleh pemerintah,
misalnya melalui kebijakan fiskal.
2. Fokus terhadap sasaran.
Pengendalian inflasi hanyalah salah
satu di antara beberapa sasaran lain yang hendak dicapai oleh Bank Sentral.
Sasaran-sasaran lain kadang-kadang bertentangan dengan sasaran pengendalian
inflasi, misalnya sasaran pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, neraca
pembayaran, dan kurs. Oleh karena itu, seharusnya bank Sentral tidak menetapkan
sasaran lain dan berfokus pada sasaran utama pengendalian inflasi.
3. Capacity to forecast inflation.
Bank Sentral mutlak harus mempunyai
kemampuan untuk memprediksi inflasi secara akurat, sehingga dapat menetapkan
target inflasi yang hendak dicapai.
4. Pengawasan instrument
Bank Sentral harus memiliki
kemampuan untuk mengawasi instrumen-instrumen kebijakan moneter.
5. Pelaksanaan secara konsisten dan
transparan.
Dengan pelaksanaan target inflasi
secara konsisten dan transparan, maka kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan
yang ditetapkan semakin meningkat.
Kestabilan harga dan nilai tukar merupakan prasyarat bagi
pemulihan ekonomi karena tanpa itu aktivitas ekonomi masyarakat, sektor usaha,
dan sektor perbankan akan terhambat. Oleh karena itu, tidaklah berlebihan
kiranya jika fokus utama kebijakan moneter Bank Indonesia selama krisis ekonomi
ini adalah mencapai dan memelihara kestabilan harga dan nilai tukar rupiah.
Apalagi Undang-undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia secara jelas menyebutkan bahwa tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai
rupiah yang di dalamnya mengandung pengertian kestabilan harga (laju inflasi)
dan kestabilan nilai tukar rupiah.
Dengan perkataan lain, sesuai dengan UU No. 23 tahun 1999
sasaran kebijakan moneter Bank Indonesia hanya satu (single objective), yaitu memelihara kestabilan nilai rupiah. Hal
ini berbeda dengan Undang-undang tentang Bank Sentral yang lama, yaitu UU No.
13 tahun 1968, yang menuntut Bank Indonesia untuk memenuhi beberapa sasaran
sekaligus (multiple objectives),
yakni mendorong kegiatan ekonomi, memperluas kesempatan kerja, dan memelihara
kestabilan nilai rupiah, yang pencapaiannya pada hakekatnya dapat saling
bertolak belakang, terutama dalam jangka pendek.
Untuk mencapai tujuan di atas, Bank Indonesia hingga saat
ini masih menerapkan kerangka kebijakan moneter yang didasarkan pada
pengendalian jumlah uang beredar atau yang di kalangan akademisi dikenal
sebagai quantity approach.
Di dalam kerangka tersebut Bank Indonesia berupaya mengendalikan uang
primer (base money) sebagai
sasaran operasional kebijakan moneter. Dengan jumlah uang primer yang
terkendali maka perkembangan jumlah uang beredar, diharapkan juga ikut
terkendali. Selanjutnya, dengan jumlah uang beredar yang terkendali
diharapkan permintaan agregat akan barang dan jasa selalu bergerak dalam jumlah
yang seimbang dengan kemampuan produksi nasional sehingga harga-harga dan nilai
tukar dapat bergerak stabil.
Dengan menggunakan kerangka kebijakan moneter seperti telah
diuraikan di atas, Bank Indonesia pada periode awal krisis ekonomi, terutama selama
tahun 1998, menerapkan kebijakan moneter ketat untuk mengembalikan stabilitas
moneter. Kebijakan moneter ketat terpaksa dilakukan karena dalam periode itu
ekspektasi inflasi di tengah masyarakat sangat tinggi dan jumlah uang beredar
meningkat sangat pesat.
Di tengah tingginya ekspektasi inflasi dan tingkat risiko
memegang rupiah, upaya memperlambat laju pertumbuhan uang beredar telah
mendorong kenaikan suku bunga domestik secara tajam. Suku bunga yang tinggi
diperlukan agar masyarakat mau memegang rupiah dan tidak membelanjakannya untuk
hal-hal yang tidak mendesak serta tidak menggunakannya untuk membeli valuta
asing.
Upaya pemulihan kestabilan moneter melalui penerapan
kebijakan moneter ketat yang dibantu dengan upaya pemulihan kepercayaan
masyarakat kepada perbankan nasional mulai memberikan hasil positif sejak
triwulan IV 1998. Pertumbuhan uang beredar yang melambat dan suku bunga
simpanan di perbankan yang tinggi telah mengurangi peluang dan hasrat
masyarakat dalam memegang mata uang asing sehingga tekanan depresiasi rupiah
berangsur surut. Sejak pertengahan tahun 1998 nilai tukar rupiah terhadap USD
cenderung menguat dan kemudian bergerak relatif stabil selama tahun 1999.
Sesuai dengan sistem nilai tukar mengambang yang diterapkan
sejak 14 Agustus 1997, perkembangan nilai tukar rupiah lebih banyak ditentukan
oleh mekanisme pasar. Di dalam sistem tersebut, penguatan nilai tukar rupiah
yang terjadi sejak pertengahan 1998 hingga akhir 1999 lebih banyak disebabkan
oleh meredanya tekanan permintaan valas sejalan dengan terkendalinya jumlah
uang beredar dan turunnya ekspektasi inflasi.
Bank Indonesia hanya melakukan penjualan valas melalui
mekanisme pasar pada harga pasar untuk mensterilisasi atau menyedot kembali
ekspansi moneter yang berasal dari pembiayaan defisit anggaran pemerintah dan
bukan terutama itujukan untuk mengarahkan nilai tukar rupiah ke suatu tingkat
tertentu. Pelaksanaan penjualan valas itu pun tidak sampai membahayakan posisi
cadangan devisa Bank Indonesia karena menggunakan devisa yang berasal dari
penarikan hutang luar negeri pemerintah yang memang diperuntukkan untuk
mendukung pembiayaan defisit anggaran pemerintah.
Nilai tukar rupiah yang menguat serta didukung oleh pasokan
dan distribusi barang-barang kebutuhan pokok yang membaik telah mendorong
penurunan laju inflasi sejak awal triwulan IV 1998. Bahkan, laju inflasi
bulanan yang sempat mencapai 12,67% pada bulan Februari 1998, mencatat angka
negatif atau deflasi dalam bulan Oktober 1998. Deflasi tersebut kemudian
berlanjut sebanyak tujuh kali berturut-turut selama periode Maret – September
1999.
Dengan perkembangan tersebut, laju inflasi selama tahun 1999
hanya mencapai 2,0%, jauh lebih rendah daripada laju inflasi selama tahun 1998
yang mencapai 77,6%. Berarti Indonesia telah berhasil mengelakkan bahaya
hiperinflasi yang sempat mengancam selama paruh pertama 1998.
Dalam perkembangan selanjutnya, laju inflasi yang sangat
rendah dan nilai tukar rupiah yang telah jauh menguat dibandingkan di masa
puncak krisis telah memberikan ruang gerak bagi Bank Indonesia untuk
memperlonggar kebijakan moneter dan mendorong penurunan suku bunga domestik.
Sebagai cerminan kebijakan moneter yang agak longgar, pertumbuhan tahunan
sasaran indikatif uang primer yang sebelumnya terus diturunkan hingga mencapai
11,2% pada Juni 1999, sejak awal semester II 1999 mulai dinaikkan hingga
mencapai 15,7% pada Maret 2000. Sejalan dengan itu, suku bunga SBI 1 bulan yang
selama ini menjadi patokan (benchmark)
bagi bank-bank terus menurun dari level tertinggi 70,58% pada September 1998
menjadi 11,0% pada akhir April 2000. Penurunan suku bunga SBI yang cukup tajam
itu diikuti oleh suku bunga pasar uang antarbank (PUAB) dan simpanan perbankan
dengan laju penurunan yang hampir sama.
Adapun para ekonom sepakat ciri-ciri suatu Negara yang
rentan terhadap krisis moneter adalah apabila Negara tersebut:
1. Memiliki jumlah hutang luar negeri
yang cukup besar
2. Mengalami inflasi yang tidak
terkontrol
3. Defisit neraca pembayaran yang besar
4. Kurs pertukaran mata uang yang tidak
seimbang
5. Tingkat suku bunga yang diatas
kewajaran
Jika ciri-ciri di atas dimiliki oleh sebuah negara, maka
dapat dipastikan Negara tersebut hanya menunggu waktu mengalami krisis ekonomi.
Sumber
:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar